BUTIR-BUTIR
MUTIARA YOGA-SAMÃDHI YANG TERCECER
”Batin
yang tidak tercela, tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya, tidak ada yang
diharapkannya, jernih tanpa noda, tidak dapat dihancurkan; Cetana seperti itu
tanpa objek, tiada lagi ia merasakan badan, bebas dari Catur Kalpana. Catur
Kalpana adalah ‘tahu’, ‘diketahui’, ‘pengetahuan’ dan ‘mengetahui’. Semua itu
tak adalagi bagi Sang Yogiswara. Itulah yang disebut Samãdhiyoga. Ia juga
adalah Sadanggayoga, sebagai pengetahuan suci Sang Pandita, hingga ditemukannya
Sanghyang Wisesa. Sikap ke-yogiswara-an yang demikian itu, terjaga oleh
Dasasila”.
Dasasila
dan Cetana.
Dalam paragraf dari Wrhaspati Tattwa - 59 di atas, ada
beberapa kata kunci yang menarik untuk disimak lebih dalam lagi, yakni: Cetana,
Catur Kalpana, Sadangga-Yoga dan Dasasila.Dasasila adalah sepuluh sikap-mental
luhur yang mendasari prilaku Sang Yogiswara. Dasasila, juga disebut sebagai
‘Pembangun Yoga’. Dasasila merupakan dasar moralitas di dalam menjalani jalan
spiritual. Penerapannya amat menentukan sempurnanya keberhasilan seorang
sadhaka. Sebutan lain —yang mungkin lebih akrab di Nusantara—adalah Panca Yama
Brata dan Panca Niyama Brata, yang di dalam Yoga Sutra disingkat Yama dan
Niyama saja.
Cetana adalah ungkapan dalam bahasa Kawi, yang dalam bahasa sanskertanya adalah Caitanya. Cetana berarti kesadaran spiritual tinggi yang dicapai oleh para Yogi Sempurna. Mendiang Shri Caitanya Prabhu misalnya, amat dipuja oleh sampradaya Hare Krishna, dapat kita ambil sebagai contoh dari penggunaan makna dari istilah Cetana ini.
Cetana adalah ungkapan dalam bahasa Kawi, yang dalam bahasa sanskertanya adalah Caitanya. Cetana berarti kesadaran spiritual tinggi yang dicapai oleh para Yogi Sempurna. Mendiang Shri Caitanya Prabhu misalnya, amat dipuja oleh sampradaya Hare Krishna, dapat kita ambil sebagai contoh dari penggunaan makna dari istilah Cetana ini.
Cetana adalah hakekat sejati, yang sesuai kesuciannya dengan
dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan kesucian: Paramasiwa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. Kesuciannya ditentukan oleh kuat-lemahnya
pengaruh Maya. Paramasiwa Tattwa sepenuhnya bebas dari pengaruh Maya, Siwa
Tattwa masih dipengaruhi Maya, sedangkan Sadasiwa Tattwa berada di antara
keduanya. Disini, Paramasiwa-lah yang dipandang sebagai Nirguna Brahman,
sedangkan Sadasiwa adalah Saguna Brahman, bila mengikuti peristilahan Advaita
Vedanta.
Cetana dicapai melalui Leburnya Catur Kalpana.
Cetana dicapai melalui Leburnya Catur Kalpana.
Serupa
dengan paparan sloka Wrhaspati Tattwa tadi, Patanjali dalam Yoga Sutra
memerinci hanya tiga saja; ini diungkapkan dalam sutra I.41: “Bila
pusaran-pusaran (vritti) telah surut, maka batin menjadi jernih transparan
bagai sebuah kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati (grahana) dan
objek-objek yang diamati (grahya) mentransformasikan dirinya menjadi apa adanya
(samãpatti).”
Ungkapan yang amat mirip dengan paradigma itu pernah saya
dengar dari seorang Wiku, yang telah tiada kini, dengan ungkapan sebagai
berikut: "Manunggaling kang kinaweruhang, kang kinaweruhi, weruh lan
kaweruhi". Bilamana kita terjemahkan secara bebas, kira-kira ia menjadi:
"Bersatu-padunya antara yang mengetahui, yang diketahui, tahu dan
pengetahuan itu sendiri". Mungkin, dengan amat susah beliau mengungkapkan
fenomena batiniah itu; namun itulah yang mampu terungkap melalui kata-kata.
Menyatupadukan Catur Kalpana berarti tercapainya Cetana.
Inilah idealisasi Samãdhiyoga dalam Wrhaspati Tattwa. Dan demi pencapaian
status Samãdhiyoga ini, dipaparkan enam langkah praktis yang disebut
Sadanggayoga: Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.
Sadanggayoga
dalam Upanishad.
Beda
dengan Ashtãnga Yoga-nya Patanjali, Sadanggayoga tidak lagi menyebut Yama,
Niyama dan Āsana, namun langsung melangkah dari Prãnãyama. Disini seolah-olah
Yama, Niyama dan Āsana sudah dirangkum dan inklusif di dalam Dasasila.
Sebagai tambahan, disini diperkenalkan tahap Tarka yang tidak ditemukan di
dalam Yoga Sutra. Bagaimana gerangan status batin yang disebutkan dengan Tarka
ini? Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa Tarka itu bersih, jernih, damai
bagaikan akasa; tapi tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan angkasa atau
langit karena tanpa sabda —suara halus di dalam— sekalipun. Ia benar-benar
jernih dalam kesunyian, tanpa bentuk-bentuk pemikiran dan persepsi apapun.
Jelas ia bebas dari vicara maupun vikalpa. Penjelasan serupa juga dapat kita
temukan dalam pustaka Tattwa Jñana —sebuah sastrãgama Nusantara lainnya.
Bilamana Tarka ini yang mendahului Samãdhi, tentu Samãdhiyoga yang dicapai
adalah Nirvikalpa Samãdhi, menurut istilah yang digunakan oleh Patanjali.
Sistem yogasadhana yang juga menggunakan istilah Tarka adalah yang dikemukakan di dalam Maitri Upanishad. Disana disebutkan: “Perintah untuk melaksanakan panunggalan ini adalah demikian; Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.” Maitri Upanishad menyebut langkah-langkah yang sama dengan Sadanggayoga-nya Wrhaspati Tattwa. Sementara itu, di dalam sebuah ulasannya, Swami Satya Prakas Saraswati menginterpretasikan Tarka hanya sebagai kontemplasi atau perenungan, yang secara mendasar berbeda dengan apa yang dipaparkan dengan jelas di dalam Wrhaspati Tattwa. Perenungan (vicara) masih menggunakan objek, baik berwujud maupun tanpa-wujud; atau, bila Rshi dalam Maitri Upanishad memang memaksudkannya demikian, maka Samãdhi yang dimaksudkan disini masih merupakan Savikalpa Samãdhi, menurut peristilahan Yoga Sutra.
Sistem yogasadhana yang juga menggunakan istilah Tarka adalah yang dikemukakan di dalam Maitri Upanishad. Disana disebutkan: “Perintah untuk melaksanakan panunggalan ini adalah demikian; Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.” Maitri Upanishad menyebut langkah-langkah yang sama dengan Sadanggayoga-nya Wrhaspati Tattwa. Sementara itu, di dalam sebuah ulasannya, Swami Satya Prakas Saraswati menginterpretasikan Tarka hanya sebagai kontemplasi atau perenungan, yang secara mendasar berbeda dengan apa yang dipaparkan dengan jelas di dalam Wrhaspati Tattwa. Perenungan (vicara) masih menggunakan objek, baik berwujud maupun tanpa-wujud; atau, bila Rshi dalam Maitri Upanishad memang memaksudkannya demikian, maka Samãdhi yang dimaksudkan disini masih merupakan Savikalpa Samãdhi, menurut peristilahan Yoga Sutra.
Persepsi
yang Bukan-Persepsi.
Bila
kita cermati keempat aspek fungsional dari Catur Kalpana, kita dapat menangkap
bahwa apa yang disebutkan sebagai Catur Kalpana adalah ‘proses dan unsur
pencerapan’; mungkin istilah ini lebih akrab dengan telinga kita. Secara
fungsional, semua itu dikerjakan oleh ‘persepsi’. Secara menyeluruh sloka tadi
membicarakan hanya dua proponen batin tertinggi saja, yakni: kesadaran dan
persepsi; dimana persepsi yang dimaksudkan disini bukanlah cerapan melalui organ-organ
indriawi, seperti yang umumnya dikenal. Ia cerapan murni, tanpa penilaian,
tanpa rasa suka atau tak-suka, tanpa pengharapan pun penolakan, tidak
membenarkan pun menyalahkan atau bentuk-bentuk penghakiman lain layaknya yang
dilakukan oleh campuran pikiran dan perasaan. Ia melampaui rasio dan emosi
—yang kontroversinya malah menimbulkan konflik internal yang tiada henti. Ia
tanpa dualitas. Ia juga kita kenal dengan sebutan intuisi.
Secara teknis, baik pikiran, apalagi perasaan atau emosi, tak lagi mengotori suasana batin Sang Yogiswara. Mereka secara praktis telah gugur, tertinggalkan dalam tataran yang lebih rendah, bersamaan dengan terlaluinya Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana dan Dhyãna. Hingga Dhyãna, pikiran telah tersublimasikan dan bercahaya sebagai Buddhi, sebagai kecerdasan kosmis, sebagai intuisi.
Secara teknis, baik pikiran, apalagi perasaan atau emosi, tak lagi mengotori suasana batin Sang Yogiswara. Mereka secara praktis telah gugur, tertinggalkan dalam tataran yang lebih rendah, bersamaan dengan terlaluinya Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana dan Dhyãna. Hingga Dhyãna, pikiran telah tersublimasikan dan bercahaya sebagai Buddhi, sebagai kecerdasan kosmis, sebagai intuisi.
Fenomena
ini amat berhampiran dengan fenomena-fenomena alami dalam suatu proses
pendakian sebuah gunung. Awan, kabut dan mendung hanya masih berpengaruh hingga
ketinggian tertentu saja. Selebihnya udara jernih, tenang; angin, awan, hujan,
badai telah tertinggal di bawah. Bukan karena mereka ditenangkan atau kebetulan
tak ada angin berhembus, namun semua itu hanya berlangsung pada tataran dengan
ketinggian tertentu saja. Bila Anda pernah mendaki gunung di daerah tropis yang
cukup tinggi —katakanlah 3000 meter ke atas— pada musim penghujan fenomena ini
akan jelas teramati. Pada ketinggian tersebut matahari bersinar terang,
langsung menyimari bumi tanpa halangan. Dari sana dapat dilihat dengan amat
jelas betapa awan berarak searah dengan hembusan angin. Ada bagian bumi yang
digelapi untuk beberapa saat, untuk kemudian terang kembali bersama dengan
berlalunya awan di atasnya. Terang, gelap, terang, gelap....dan seterusnya;
demikianlah kondisi dataran rendah yang masih berada di bawah awan.
Demikian
pula halnya dengan pendakian spiritual. Pada ketinggian tertentu, Rajas dan
Tamas telah kehilangan kekuatannya bagi Sang Yogi. Merekalah kekuatan Prakriti
yang mengombang-ambingkan manusia dalam berbagai bentuk pemikiran dan perasaan.
Manakala yang satu-satunya tertinggal adalah Sattvam, Buddhi-pun menjadi
bercahaya. Citta atau kesadaran murni dengan leluasa menyinari batin Sang Yogi.
Bagi yang telah terliputi Buddhisattvam, pengaruh dunia sudah sedemikian tipis,
walaupun secara kasat-indria beliau masih tampak seperti biasa di dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya.
Tanpa
perumpamaan pendakian gunung tadi, mungkin agak sulit bagi kita untuk
membayangkan dan mengungkapkan kondisi kesadaran yang terbebas samasekali dari
persepsi, murni, jernih bak kristal dan damai itu, dengan kata-kata. Mungkin
itulah sebabnya mengapa agak sulit bagi kita untuk menemukan paparan yang jelas
tentangnya, baik secara lisan maupun tulisan. Ia jauh lebih mudah dirasakan
lewat praktek langsung dalam sadhana, daripada dibicarakan. Praktek langsung
memberi pengalaman langsung yang amat berharga. Yoga adalah praktek langsung,
secara empiris, bukan sekedar himpunan berbagai konsepsi-konsepsi
spiritual-filosofis saja.
Menurut Tattwa Jñana, sesuai dengan kandungan Triguna-nya, makhluk hidup dapat dibedakan atas tiga kelompok besar, yakni: Buddhisattvam, Buddhirajas dan Buddhitamas. Kandungan Triguna inilah yang menentukan jasad apa yang dikenakannya kini dan nanti. Binatang dan tetumbuhan, Buddhi-nya tidak bercahaya akibat didominasi oleh gelapnya Tamas.
Warisan Luhur yang sangat patut dibanggakan.
Menurut Tattwa Jñana, sesuai dengan kandungan Triguna-nya, makhluk hidup dapat dibedakan atas tiga kelompok besar, yakni: Buddhisattvam, Buddhirajas dan Buddhitamas. Kandungan Triguna inilah yang menentukan jasad apa yang dikenakannya kini dan nanti. Binatang dan tetumbuhan, Buddhi-nya tidak bercahaya akibat didominasi oleh gelapnya Tamas.
Warisan Luhur yang sangat patut dibanggakan.
Kita
sebetulnya telah diwarisi metode-metode luhur yang bermutu tinggi, yang tak
kalah, bahkan siap bersanding dengan metode-metode yang datang belakangan,
apakah itu dalam kemasan Yoga, maupun Meditasi. Bila kita pandai-pandai
mengemas dan tak cepat berputus-asa di dalam menggali dan menggali serta
menghimpun ceceran mutiara-mutiara Yoga-Samãdhi Nusantara, kitapun dapat
menjadikannya ‘komuditas ekspor’. Yang pasti, kita tak mesti senantiasa jadi
bulan-bulanan dan konsumen empuk bagi pemasaran komuditas spiritual impor.
Pengaruh Sankhya, ternyata terasa amat kental, justru dalam ajaran Yoga
Nusantara. Yoga telah dikembangkan jauh ke akarnya (Sankhya Darsana) oleh para
Yogiswara Nusantara; dan atas fakta ini, kita boleh berbangga.
Harapan
saya, semoga tulisan pendek ini berfungsi sebagai penggugah nurani kita.
Penggugah, untuk mencintai kembali apa yang menjadi warisan kita semua tanpa
kecuali. Keagungan Borobudur dan Prambanan, hanyalah kulit terluar dari budaya
spiritual-religius Nusantara yang menyentak dan membeliakkan mata dunia. Isinya
masih ada, masih tersimpan rapi di bumi Nusantara. Ia kini sedang menunggu
untuk dijamah dan ditampilkan lagi oleh para pewarisnya. Mengakhiri tulisan ini
saya sajikan sekelumit sloka dari pustaka kuno Tattwa Jñana berikut.
“Inilah tujuan Sanghyang Jñana Tattwa yang ditujukan pada Anda sekalian, yang menyebabkan kembali ke asal apabila Anda tahu dan dapat merasakan intisarinya. Memahami Sanghyang Jñana Tattwa dengan baik, dan dengan kesadaran melaksanakan Prayogasandhi di bawah penerangan Samyagjñana, yang berdasarkan Tapa, Brata, Yoga dan Samãdhi, merupakan obat dari Atma yang sengsara”.
“Inilah tujuan Sanghyang Jñana Tattwa yang ditujukan pada Anda sekalian, yang menyebabkan kembali ke asal apabila Anda tahu dan dapat merasakan intisarinya. Memahami Sanghyang Jñana Tattwa dengan baik, dan dengan kesadaran melaksanakan Prayogasandhi di bawah penerangan Samyagjñana, yang berdasarkan Tapa, Brata, Yoga dan Samãdhi, merupakan obat dari Atma yang sengsara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar